Total Tayangan Halaman

Minggu, 03 Oktober 2010

-RORO MENDUT:SEBUAH KEMERDEKAAN MEMILIH...

Roro Mendut dalam cerita rakyat Indonesia, adalah seorang perempuan cantik yang hidup di Pulau Jawa pada zaman Kesultanan Mataram abad ke-17. Kecantikannya memukau semua orang, termasuk Wiroguno yang sangat berkuasa saat itu. Namun, Roro Mendut bukanlah wanita yang lemah. Dia berani menolak keinginan Wiroguno yang ingin memilikinya. Bahkan dia berani terang-terangan untuk menunjukkan kecintaannya kepada pemuda lain pilihannya, Pronocitro (Pranacitra, dalam bahasa Indonesia). Wiroguno yang murka mengharuskan Roro Mendut untuk membayar pajak kepada kerajaan. Roro Mendut pun harus berpikir panjang untuk mendapatkan uang guna membayar pajak tersebut. Sadar akan kecantikannya dan keterpukauan semua orang terutama kaum lelaki kepadanya, akhirnya dia tiba pada suatu ide untuk menjual rokok yang sudah pernah dihisapnya dengan harga mahal kepada siapa saja yang mau membelinya. Roro Mendut dan kekasihnya, Pranacitra, mati bersama demi cinta mereka. Erotisme Roro Mendut ketika berjualan rokok lintingan, dengan lem dari jilatan lidahnya, menggambarkan potensi perempuan dalam pemasaran. Di samping itu, penolakan Roro Mendut diperistri oleh Tumenggung Wiroguno memperlihatkan kemandirian perempuan Nusantara saat itu.
Secara garis besar, novel karya Mangunwijaya tidak jauh berbeda dengan cerita rakyat yang beredar di masyarakat Jawa. Namun Mangunwijaya berhasil mengelaborasi prinsip perempuan sebagai pemegang nasib sendiri dengan kungkungan sejarah yang murni patriarki. Di sinilah pencerahan yang dapat diambil pembaca ketika menyimak novel sejarah Roro Mendut.
  
Mendut yang gadis pantai merasa tidak memiliki apa-apa, maka dengan sekuat tenaga ia mempertahankan satu-satunya yang ia miliki kebebasan. Selain karena memang berasal dari keluarga miskin, tradisi sosial masyarakat Jawa memang tidak mengijinkan adanya kepemilikan berlebih bagi masyarakat non istana. Apalagi Mendut yang "hanya" perempuan. Ia hanya mencoba menikmati kebebasan yang ia miliki karena semasa di desanya itulah anugerah yang paling ia syukuri.
Jika sartre memilih kebebasan manusia dalam memilih menjadi pilihan hatinya setelah menyaksikan tragedi PD II, maka Mendut tersadarkan setelah diboyong Adipati Pati kemudian dijadikan boyongan perang oleh Mataram. Ia semakin tergila-gila akan kebebasan setelah dinyatakan akan dijadikan selir oleh Wiraguno, laki-laki yang sepantasnya menjadi kakeknya. Meski sebelumnya di Pati ia sempat mengutarakan pandangan-pandangannya yang lain dari keumuman tradisi waktu itu bahkan kini.
Pandangan-pandangan tersebuit patut dijadikan teladan kaum laki-laki juga dicetuskan Mendut. Seperti bagaimana ia memandang sebuah keperawanan. Mendut mengatakan bahwa keperawanan tidak mutlak ditentukan dari segi fisik, namun juga segi psikis. Menurut atau tidaknya perempuan ketika bersetubuh, itulah nilai utama sebuah keperawanan. Pandangan yang sangat jarang dimiliki kaum perempuan dan lelaki. Melihat bagaimana Mendut berpikir, maka kebebasan ala Sartre pun sebenarnya melekat kuat dalam pikiran Gadis Pantai ini. Jika Sartre menekankan kebebasan bagi manusia untuk memilih apa yang akan ia lakukan, Mendut melakukannya terutama dengan pikirannya. Ketika ia memilih dalam berbentuk tindakan, semua itu merupakan kalkulasi dari pikirannya selama ia belum bebas. Karena "Manusia adalah kebebasan", demikian kata Sartre, "tidak cukup dengan mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang menginginkan kebebasan, manusia adalah kebebasan itu sendiri". Inilah corak humanis pemikiran sartre. Kebebasan berarti memilih, menentukan sikap dari sekian alternatif yang dimungkinkan. Manusia bebas memilih jalan hidupnya sendiri tanpa harus ditentukan oleh orang lain atau faktor objektif lainnya.
Ketegaran Roro Mendut untuk mati demi cinta, kian menegaskan bahwa ia bereksistensi melalui pilihannya itu. Selain ia merasa bebas memilih, ia pun bebas menentukan apa yang harus ia lakukan tanpa pengaruh nilai-nilai yang mencibirnya.sebagai wanita Jawa yang "hanya" menjadikonco wingking, harus siap surga nunut, neraka katut terhadap laki-laki. Namun Mendut tidak memilih keduanya, ia tidak sudi dijadikan istri pemenang perang sebagaimana layaknya tradisi wanita timur diperlakukan. Ia juga tidak mau menjalani hidupnya dengan mengekor kejayaan laki-laki. Ia menciptakan alternatif sendiri yang berada di luar nilai-nilai yang berlaku di masyarakat Jawa kala itu.
Kesadaran Roro Mendut bahwa ia memiliki potensi eksistensial – kecantikannya – membuat ia semakin yakin dengan kebebasan memilih dalam dirinya. Wanita Jawa yang diharuskan tradisi untuk kalem dalam segala hal, tentu sangat sulit seperti Roro Mendut. Penari tayub yang hanya memaksimalkan keahliannya dalam menari bahkan diidentifikasikan sebagai pelacur. Stigma negatif inilah yang dihadapi dengan gagah berani oleh Mendut. Pada akhirnya bisa dikatakan bahwa Roro Mendut memperjuangkan apa yang dikatakan oleh Somone bahwa: tidak ada sifat wanita dan sifat pria... sebaliknya, kaum wanita dan pria harus membebaskan diri mereka dari prasangka-prasangka atau ide mendarah daging itu.
Ide atau prasangka mendarah daging inilah yang mencoba dihapus perlahan-lahan oleh Romo Mangun melalui sebuah "pembuktian" sejarah. Meski berakhir sedih, namun setidaknya Roro Mendut menyadarkan kita bahwa nasib tergantung kita yang menjalaninya. Tidak serta-merta kita harus menjalani apa yang dititahkan tradisi – kerajaan. Selalu ada pilihan dan keberanian untuk memilihlah yang diperlukan oleh pelaku. Sebab memang itulah inti dari eksistensialisme. Berani berbuat, berani bertanggung jawab.
Keberadaan Roro Mendut sebagai pelaku sejarah feminisme-eksistensialis membuktikan bahwa keberadaan wanita memang sangat berperan dalam kehidupan. Selain itu juga membuktikan bahwa wanita juga bisa menjadi seperti apa yang diinginkannya. Mangun Wijaya telah membuktikannya melalui Roro Mendut. Dan Mendut berani membuktikan keyakinannya meski resiko yang ia tanggung juga tidak kecil.
Yang pasti eksistensialisme Roro Mendut telah mengakar dalam budaya Jawa. Sadar atau tidak keberadaan kisah Roro Mendut merupakan keberanian bagi wanita Jawa dalam mengapresiasi kehidupannya. Akan selalu ada Roro Mendut yang lain, tentu dengan cerita yang berbeda. Yang jelas, menentukan nasib sendiri adalah kebebasan yang tiada terkira. Semua manusia berhak memilikinya, karena hanya dengan itulah kita dapat memaksimalkan keberadaan sekaligus fungsi kita di dunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar