Total Tayangan Halaman

Minggu, 03 Oktober 2010

WAROK DAN GEMBLAK:SEBUAH CATATAN PENDEK TENTANG TRADISI

Tradisi warok sebenarnya terbangun dari keinginan menggali identitas dan jati diri masyarakat Ponorogo. Nama Ponorogo sendiri mencerminkan keinginan kuat itu; “pono” berarti sempurna, puncak, mumpuni; sedangkan “rogo” berarti raga, badan. Jadi Ponorogo berarti badan atau tubuh yang telah sempurna; pribadi yang telah mencapai kesempurnaan. 
Kesenian Reog Ponorogo tidak bisa terlepas dari tradisi warok. Secara historis, belum ada data yang bisa menunjukkan secara pasti hubungan antara reog dengan tradisi warok.
Di dalam tradisi terdapat tradisi gemblakan atau mairil. Komponen ini memiliki karakteristik berikut; berjenis kelamin laki-laki; berusia 10 sampai 17 tahun; dan berparas tampan. Dalam pertunjukan reog (sebelum diganti dengan pemeran perempuan) gemblakan berperan sebagai penari jathil. Hubungan warok, warokan, maupun gemblakan bisa dilukiskan seperti hubungan suami-isteri. “Gemblakan iku minongko gantine bojo”- (Gemblakan itu sebagai pengganti isteri). Karena itu gemblakan itu selalu disayang, disanjung, dan dibanggakan jauh melebihi sang isteri warok sendiri.
Kehidupan homo-seksual di dalam tradisi warok Ponorogo terjadi lebih disebabkan oleh kuatnya pandangan setempat, bahwa ilmu-ilmu kanoragan (baca: kekebalan) yang menjadi andalan utama tradisi itu hanya dimungkinkan bila pemiliknya mampu menahan tidak berhubungan dengan perempuan
Dalam tradisi warok, kehadiran gemblak di dalam kehidupan rumah tangga warok telah berpengaruh pada peran dan fungsi perempuan (para isteri warok).
Dalam hal peran sosial kemasyarakatan, sebagai konsekuensi dari ideologi kanuragan, perempuan atau isteri warok juga tidak memiliki peran apapun,tidak lagi melibatkan isteri, melainkan gemblak yang secara penuh mendampingi sang warok.
Tradisi gemblak di kalangan warok Ponorogo nampaknya menjadi elemen yang tak terpisahkan dari nilai-nilai kultur Jawa, yang menempatkan perempuan sebagai konco wingking; suargo nunut neroko katut,
wujud perilaku perempuan sebagai konco wingking dalam keluarga warok mengambil bentuk ketaatan sang perempuan untuk meng-iya-kan (setuju) apapun yang dilakukan suami, dan hal ini lagi-lagi akan menemui pendasaran yang cukup absah, yakni ideology kanuragan.
Dalam perkembangannya, dari masa ke masa, tradisi warok mengalami dinamika fluktuatif; ada masanya tradisi warok mencerminkan kehidupan penuh pesona kebajikan dan kearifan, dan karena itu warok Ponorogo menjadi figur sentral bagi hidup dan kehidupan masyarakat Ponorogo. Bersamaan dengan itu, ternyata juga ada masanya tradisi warok itu mencerminkan kehidupan gelap; serba negatif. Ilmu kekebalan yang diperoleh para warok tidak dimanfaatkan menebar kemanfaatan, melainkan malah diselewengkan untuk kepentingan adigang-adigung-adiguna, lahirlah kemudian istilah kejahatan di kalangan warok
Sejak Batharakatong berkuasa dengan membawa misi menyebarkan agama Islam di Kabupaten Ponorogo, citra buruk kehidupan warok mulai diperbaiki. Perbaikan citra buruk warok tidak hanya dilatari oleh para warok yang beragama Islam, tetapi juga mereka yang menganut aliran kebatinan. Istilah warok kemudian dicarikan makna yang sesuai dengan semangat kebajikan oleh masing-masing agama dan kepercayaan yang diusung dalam tradisinya.
Dalam tradisi Islam yang dibangun oleh Batharakatong dan kemudian dilanjutkan oleh generasi Muslim berikutnya, istilah warok dimaknai dari kosakata Arab wira’i, yaitu “orang yang selalu menjaga kesucian diri melalui iman dan taqwa kepada Allah SWT”.
Sementara dalam tradisi aliran kepercayaan ataupun kebatinan, warok dimaknai dari kosakata Jawa “wewarah”,
“Warok menika mboten sanes inggih tiyang ingkang sugih wewarah”, artinya warok itu tidak lain adalah orang yang kaya petunjuk; seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran bagi orang lain tentang hidup yang baik(Mbah Wo Kucing,seorang warok sepuh)
Jaman yang terus berubah serta pemahamaan norma agama membuat praktek Warok – Gemblak hampir sulit ditemui lagi di kawasan Ponorogo. Warok jaman sekarang lebih diartikan sebagai seniman reog saja.
Mengubah citra Warok berarti juga mengubah keberadaan Gemblak, sesosok lelaki belia yang ganteng dan kemayu kini berganti dengan kehadiran penari jatil yang diperankan perempuan. Merekalah yang mengantikan posisi Gemblak dalam setiap pentas Reog.
Dalam kesehariannya pun kini sudah sulit menemukan praktek Gemblak. Kalaupun ada mungkin tidak seintim dahulu. Tidak gampang mengubah tradisi.
Sebagai sebuah tontoan, Reog tetap menarik dan menghibur. Tanpa Sang Warok kesenian ini kehilangan makna, kendati sosok menyeramkan ini memiliki sisi kehidupan yang gelap.
Kehidupan memang punya kesunyian masing-masing dan kadang-kadang absurd,
bagaimana sebuah realitas hubungan warok gemblak bisa tumbuh. dalam tatanan masyarakat tradisional. Bahkan dengan penerimaan masyarakat – waktu itu – yang menganggap bagian dari sebuah budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar