Total Tayangan Halaman

Rabu, 06 Oktober 2010

SEJARAH PENAMAAN KAMPUNG DI JOGJA

Sejumlah kampung di Yogyakarta ternyata memiliki keunikan karena proses penamaannya yang hampir seragam. Ada kampung yang namanya didasarkan pada profesi yang banyak ditekuni warganya, golongan kerabat dan pejabat, keahlian abdi dalem hingga nama pasukan prajurit. Kampung-kampung itu berdasarkan letaknya bisa dibagi menjadi 2 wilayah, yaitu Jeron Beteng (kawasan dalam kompleks Kraton Yogyakarta) dan Jaba Beteng (kawasan di luar kompleks kraton Yogyakarta).
Kampung di wilayah Jeron Beteng umumnya dinamai berdasarkan keahlian abdi dalemnya, sebab kampung-kampung itu dulu merupakan tempat tinggal abdi dalem yang sehari-hari menangani urusan rumah tangga kraton. Berjalan ke timur dari Alun-Alun Utara dan berbelok ke kanan memasuki Plengkung Wijilan, anda akan menemui kampung Mantrigawen, Gamelan, Namburan, dan Siliran. Bila berjalan sampai ke Alun-alun Kidul, anda juga akan menemukan kampung Nagan dan Patehan.
Nama Mantrigawen diambil karena warganya merupakan abdi dalem kepala pegawai, sementara nama Gamelan diambil karena warganya bermatapencaharian sebagai pembuat tapal kuda. Siliran merupakan tempat tinggal abdi dalem Silir yang bertugas menyalakan lampu penerangan dan Namburan ditinggali abdi dalem yang bertugas membunyikan gamelan. Patehan adalah rumah abdi dalem pembuat teh sedangkan Nagan adalah kediaman penabuh gamelan Jawa.
Menuju kawasan Jaba Beteng, anda bisa menjumpai kampung-kampung yang ditinggali hamba istana lainnya, seperti pengurus administrasi, prajurit, pengrajin, kaum profesional dan bangsawan lainnya. Beberapa kampung yang bisa dijumpai  adalah Keparakan,Pajeksan, Jlagran, Dagen, Gandekan, Gowongan, Wirobrajan, Patangpuluhan, Prawirotaman, Mantrijeron dan Bugisan. Mengelilinginya dari utara ke selatan lebih mudah sebab persebaran kampung itu mulai dari Tugu hingga Panggung Krapyak.
Nama Pajeksan diambil karena kawasan itu didiami jaksa,Keparakan karena merupakan tempat tinggal abdi keparak kiwo dan tengen, sementara Dagen diambil karena dulu merupakan tempat tinggal tukang kayu. Gowongan merupakan tempat tinggal tukang bangunan sedangkan Jlagran didiami tukang batu. Kampung lain seperti Prawirotaman, Mantrijeron, Bugisan, Wirobrajan, Patangpuluhan serta Jogokrayan adalah kediaman prajurit pasukan Prawirotomo, Mantrijero, Wirobrojo, Bugis, Patangpuluh, dan Jogokaryo.
Seiring perkembangan dan makin pluralnya penduduk kota Yogyakarta, mulai tahun 1900-an bermunculan pula kampung-kampung lain di Jaba Beteng. Umumnya, kampung-kampung terbagi berdasarkan etnisnya sehingga dinamai berdasarkan etnis yang mendominasi. Beberapa kampung yang bisa dikunjungi antara lain Kranggan, Pecinan, Sayidan, Menduran, Loji Kecil, Kotabaru, dan Sagan. Selain sebagai tempat tinggal, kampung-kampung itu juga berfungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi.
Kampung Kranggan yang terletak di utara Tugu dan Pecinan yang terletak di selatan Malioboro dulu didiami oleh orang-orang Cina. Kampung Sayidan menjadi tempat tinggal orang-orang Arab sementara Menduran ditinggali oleh orang-orang Madura. Keturunan Eropa yang umumnya merupakan orang Belanda tinggal di wilayah Loji Kecil yang terletak di dekat Benteng Vredeburg, Kotabaru yang terletak di timur laut Malioboro, dan Sagan yang ada di dekat Jalan Solo.
Merasakan atmosfer kampung itu dan meluangkan waktu sejenak untuk berinteraksi dengan warganya, anda akan tahu lebih banyak tentang sejarah penamaan kampung dan kondisi Yogyakarta di masa lampau. Anda mungkin juga akan bertanya -tanya sebab kondisi beberapa kampung sudah tak menunjukkan keseseuaian dengan namanya. Meski demikian, banyak perubahan yang menyebabkan kampung itu justru semakin menarik untuk dikunjungi.
Kampung Prawirotaman misalnya, meski bukan lagi kediaman prajurit namun kini semakin ramai karena terdapat banyak penginapan serta penjual souvenir khas Yogyakarta. Kampung Sayidan malah makin terkenal karena kini menjadi salah satu pusat aktivitas musisi jalanan di kota Yogyakarta. Kranggan masih memiliki pesona berupa pasar tradisional yang menjual makanan segar sedangkan kawasan dekat Siliran kini diramaikan dengan adanya mural di dinding pembatas rumah dan jalan.
Jejak kejayaan masa lalu di beberapa kampung itu juga masih bisa dilacak. Kawasan Loji Kecil dan Kotabaru memiliki bangunan bernuansa indies sebagai bukti bahwa dulu banyak didiami orang Eropa. Beberapa toko di Pecinan (kini dinamai Jalan Jendral Ahmad Yani) hingga kini masih berdiri sehingga bisa menjadi saksi kejayaan pedagang Cina masa lampau. Kampung-kampung Jeron Beteng menyimpan bangunan-bangunan khas Jawa yang menjadi kediaman abdi dalem.

Menulis adalah anugerah.

Menulis adalah berbagi. Ya, berbagi pemikiran, berbagi kisah, berbagi pengalaman hidup.Dengan menulis, saya mendapatkan sahabat, teman-teman yang berhati baik. Lalu kenikmatan tersendiri ketika ada orang yang mengucapkan terimakasih atas tulisan saya yang membuatnya terkesan.
Belum lagi, kedahsyatan efek menulis bagi perbaikan diri. Menulis adalah terapi jiwa yang sungguh dahsyat. Lega hati saya setelah menulis, bahkan saya juga menjadi bisa mengukur diri. Setelah membaca tulisan sendiri, saya merenung apakah saya ini kuat atau lemah? Disitulah saya menemukan harta karun bahwa saya memang perlu selalu untuk memperbaiki diri dan tak mengulangi kesalahan yang sama di masa datang.
Menulis adalah proses mengabadikan,Mengabadikan apa? Apa yang bisa diabadikan lewat sebuah tulisan? Banyak sekali. Ada ide, gagasan, pikiran, visi, rencana, mimpi-mimpi, goals, kisah, cerita, berita, ilmu pengetahuan, hidup dan kehidupan.Mengapa diabadikan? Karena kita manusia memiliki otak yang terbatas, manusia dengan kadar ingatan juga terbatas, manusia dengan kadar kealpaan yang tetap mengancam. Sementara ide, gagasan dan seterusnya itu, tidak mungkin diwadahi apalagi diabadikan di dalam otak kita sendiri.
Dan proses menulis sangat berkaitan dengan membaca,tak ada orang yang bisa menulis tanpa membaca,kalau tidak pernah membaca mana pernah punya keinginan untuk menulis.
Menulis juga merupakan sebuah latihan dalam kehidupan,yang tidak menulis pun juga bisa mendapatkan latihan dalam hal apapun,tapi biasanya tidak teratur,kurang teruji logikanya.Banyak hal dalam hidup yang kita pikirkan,menulisa salah satu sarana untuk melatih macam-macam hal,ingatan,sensitifitas.Semuanya adalah hal yang jelas penting dalam hidup.
Secara umum,menulis juga baik untuk kesehatan,paling tidak kesehatan jiwa,kita bisa mengekspresikan diri kita dalam bentuk tulisan,tidak memendam apa-apa.Apa yang kita kemukakan kita tulis,apabila tulisan itu bisa membuat lebih baik kepada orang lain,atau paling tidak terhadap diri sendiri.Karena dalam tulisan ada kemungkinan untuk melihat pemahaman-pemahaman baru,pengalaman-pengalaman baru.
Tidak ada yang muluk-muluk dalam hal menulis,seperti kita belajar naik sepeda saja,lama kelamaan pasti bisa dan tidak akan pernah lupa seumur hidup kita.

SEKARANG NAMANYA GALI ATAU PREMAN.

Sekarang namanya gali atau preman,pada masa pemerintahan Sultan HB V(1828-1855) mereka disebut benggol,tepatnya benggol kecu.Pemerintah kolonial Belanda menamainya kecupartij.Masih ada julukan lain yaitu brandhal dan durjana.Di Batavia ada centheng,di Banten ada jawara,di Jawa Timur ada bromocorah.
Dan pada masa revolusi,para bajingan ini dikerahkan pasukan RI untuk melawan agresi Belanda.Siapa mengira para bajingan ini yang membuat para ibu menjentik mulut anak yang mengucapkannya,yang kotor,tak sopan dan tidak beradab,pada suatu waktu pernah mempunyai nama besar tak kalah dari para pangeran dan jendral.
Tersebutlah misalnya pada masa HB V,di kawasan selatan yogyakarta,yang dikenal dengan nama Penthung Pinanggul,kaum kecu yang siap sedia menghadapi lawan dengan tongkat yang dipanggulnya dan dipukulkan kepada siapa yang berani melawan.Gobang Kinosek menunjukkan betapa tajamnya pisau besar utk merajang tembakau yang sudah diasah untuk lawan,Kandhang Jinongkeng yang besar dan beratnya seperti kandang kerbau,dan Dhadhung Sinedhel,yang berarti tali besar utk mengikat sapi dan kerbau,tapi kali ini berfungsi untuk mengikat lawannya.Memang ada latar belakang historis,kenapa para bandit ini bisa eksis secara sosial dan politis.                                                                                                                                                    Dalam hal Pulau Jawa,semuanya dimulai dari politik tanam paksa(cultuurstelsel) yang dimulai pemerintah kolonial Belanda lewat Gubernur Jendral Van Den Bosch(1830-1833).Ketika sudah dihapus sistem itu membuat pemerintah kolonial Belanda meraup untung 800 juta gulden,tapi para petani Jawa terlanjur miskin,sementara pola tradisional raja-kawula yang tergantung pada harmoni terlanjur rusak.Semula sawah digarap dengan semangat pengabdian,namun Belanda mengubah sebagian sawah menjadi lahan perkebunan tebu dan tembakau demi perdagangan internasional.Alam menjadi pabrik yang efektif,petani tak punya ruang,penguasa tak mampu melindungi,malah bekerjasama sehingga menjadi ular berkepala dua.
Tak aneh jika sejak pertengahan abad XIX sampai awal abad XX,maraklah apa yang disebut social banditry.Mula-mula memang merupakan kriminalitas biasa,baru di tingkat colong jupuk.Namun ketika sasarannya sampai ke orang-orang yang dibenci rakyat antara lain kepala desa,pedagang cina,sampai tuan tanah partikelir Belanda,para bandit ini mendapat simpati dan lama kelamaan malah menjadi pahlawan.Kemudian lama-lama ada yang bergerak atas nama rakyat dan ada juga atas nama agama atau kata lain mesianistas.
Semua ini masih berlangsung walaupun Belanda sudah menjalankan politik liberal(1870-1900) dan bahkan sampai politik etis(1900-1942),karena dalam prakteknya,siapa sih yang tidak mau dengan keuntungan di depan mata.Perlawanan muncul dalam bentuk perampokan dan pembakaran.
Koran Mataram edisi 24 November 1893,menyebutkan perkecuan setiap malam terjadi di Yogyakarta dikarenakan karena kurangnya polisi.Laporan Kolonial Belanda menyebutkan bahwa antara tahun 1925-1926,terjadi peristiwa pembakaran perkebunan sebanyak 371,dan banyak peristiwa serupa di kota-kota lain di Jawa antara lain Probolinggo,Pasuruan,dan lain-lain.Penurunan terjadi karena kegiatan politik dan perlawanan para petani disalurkan  dalam partai politik antara lain Syariat Islam.
Perbanditan makin radikal jika pemerintah makin kuat melakukan tekanan dan makin lahap menelan lahan milik petani.Bahkan bandit berdasi asal kota yang beroperasi masa kini,yang mencatut nama petani,sebenarnya adalah para kapitalis yang masih tetap ingin mendapatkan keuntungan di pedesaan apapun caranya.Dan pedesaan dijadikan lahan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya,meskipun bandit gaya baru ini terjadi pada masa sesudah kemerdekaan.