Total Tayangan Halaman

Rabu, 06 Oktober 2010

SEKARANG NAMANYA GALI ATAU PREMAN.

Sekarang namanya gali atau preman,pada masa pemerintahan Sultan HB V(1828-1855) mereka disebut benggol,tepatnya benggol kecu.Pemerintah kolonial Belanda menamainya kecupartij.Masih ada julukan lain yaitu brandhal dan durjana.Di Batavia ada centheng,di Banten ada jawara,di Jawa Timur ada bromocorah.
Dan pada masa revolusi,para bajingan ini dikerahkan pasukan RI untuk melawan agresi Belanda.Siapa mengira para bajingan ini yang membuat para ibu menjentik mulut anak yang mengucapkannya,yang kotor,tak sopan dan tidak beradab,pada suatu waktu pernah mempunyai nama besar tak kalah dari para pangeran dan jendral.
Tersebutlah misalnya pada masa HB V,di kawasan selatan yogyakarta,yang dikenal dengan nama Penthung Pinanggul,kaum kecu yang siap sedia menghadapi lawan dengan tongkat yang dipanggulnya dan dipukulkan kepada siapa yang berani melawan.Gobang Kinosek menunjukkan betapa tajamnya pisau besar utk merajang tembakau yang sudah diasah untuk lawan,Kandhang Jinongkeng yang besar dan beratnya seperti kandang kerbau,dan Dhadhung Sinedhel,yang berarti tali besar utk mengikat sapi dan kerbau,tapi kali ini berfungsi untuk mengikat lawannya.Memang ada latar belakang historis,kenapa para bandit ini bisa eksis secara sosial dan politis.                                                                                                                                                    Dalam hal Pulau Jawa,semuanya dimulai dari politik tanam paksa(cultuurstelsel) yang dimulai pemerintah kolonial Belanda lewat Gubernur Jendral Van Den Bosch(1830-1833).Ketika sudah dihapus sistem itu membuat pemerintah kolonial Belanda meraup untung 800 juta gulden,tapi para petani Jawa terlanjur miskin,sementara pola tradisional raja-kawula yang tergantung pada harmoni terlanjur rusak.Semula sawah digarap dengan semangat pengabdian,namun Belanda mengubah sebagian sawah menjadi lahan perkebunan tebu dan tembakau demi perdagangan internasional.Alam menjadi pabrik yang efektif,petani tak punya ruang,penguasa tak mampu melindungi,malah bekerjasama sehingga menjadi ular berkepala dua.
Tak aneh jika sejak pertengahan abad XIX sampai awal abad XX,maraklah apa yang disebut social banditry.Mula-mula memang merupakan kriminalitas biasa,baru di tingkat colong jupuk.Namun ketika sasarannya sampai ke orang-orang yang dibenci rakyat antara lain kepala desa,pedagang cina,sampai tuan tanah partikelir Belanda,para bandit ini mendapat simpati dan lama kelamaan malah menjadi pahlawan.Kemudian lama-lama ada yang bergerak atas nama rakyat dan ada juga atas nama agama atau kata lain mesianistas.
Semua ini masih berlangsung walaupun Belanda sudah menjalankan politik liberal(1870-1900) dan bahkan sampai politik etis(1900-1942),karena dalam prakteknya,siapa sih yang tidak mau dengan keuntungan di depan mata.Perlawanan muncul dalam bentuk perampokan dan pembakaran.
Koran Mataram edisi 24 November 1893,menyebutkan perkecuan setiap malam terjadi di Yogyakarta dikarenakan karena kurangnya polisi.Laporan Kolonial Belanda menyebutkan bahwa antara tahun 1925-1926,terjadi peristiwa pembakaran perkebunan sebanyak 371,dan banyak peristiwa serupa di kota-kota lain di Jawa antara lain Probolinggo,Pasuruan,dan lain-lain.Penurunan terjadi karena kegiatan politik dan perlawanan para petani disalurkan  dalam partai politik antara lain Syariat Islam.
Perbanditan makin radikal jika pemerintah makin kuat melakukan tekanan dan makin lahap menelan lahan milik petani.Bahkan bandit berdasi asal kota yang beroperasi masa kini,yang mencatut nama petani,sebenarnya adalah para kapitalis yang masih tetap ingin mendapatkan keuntungan di pedesaan apapun caranya.Dan pedesaan dijadikan lahan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya,meskipun bandit gaya baru ini terjadi pada masa sesudah kemerdekaan.


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar