Total Tayangan Halaman

Senin, 04 Oktober 2010

SARKEM:PROSTITUSI SEJAK JAMAN KOMPENI...

Sarkem telah menjadi sebuah kawasan malam yang sangat melegenda, mungkin hingga mancanegara. Letaknya pun sangat strategis yakni di jantung kota Jogjakarta tepatnya di ujung utara Jalan kondang Malioboro bersebelahan dengan Stasiun Tugu. Pelacuran di kawasan ini bahkan telah berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda.

Pasar Kembang sebenarnya adalah nama jalan yang berada tepat di bagian selatan Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan Sarkem yang merupakan singkatan dari Pasar Kembang, ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang. 


Pada masa lalu daerah ini dikenal dengan Nama Balokan, karena pada saat pembangunan rel kereta api, daerah ini jadi tempat untuk menaruh semua matrial untuk pembangunan rel kereta dan Stasiun Tugu. Perubahan nama dari Balokan menjadi Pasar kembang terutama berkaitan dengan banyaknya penjual bunga yg membuka kios di sepanjang jalan ini di era 70-an.

Secara historis, Wilayah Sosrowijayan Kulon ini dikenal sebagai tempat praktek prostitusi kurang lebih sejak 125 tahun yang lalu, yaitu seiring dengan proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap dan Surabaya pada tahun 1884. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan rel kereta api, berkembang juga fasilitas seperti tempat penginapan dan mulai bermunculan perempuan-perempuan yang bekerja untuk melayani pekerja bangunan di setiap wilayah yang dilalui kereta api, termasuk Yogyakarta, kompleks prostitusi ini didirikan di daerah Pasar Kembang.
 Konon juga, keberadaan "lembaga" ini juga mendapat "restu" pemerintah belanda dengan harapan, jika seluruh buruh pembuat jalan kereta api sudah menerima upah dari hasil keringatnya, maka diharapkan mereka menghabiskan gajinya ke "lembaga" yang diciptakan oleh pemerintah Belanda.
Sehingga dari sini perputaran uang tetap kembali lagi ke pemerintah Belanda di Yogyakarta. Di 'Lembaga" ini ada pungutan-pungutan sebagai "retribusi", tentu saja hal ini ada korelasi kuasa antara pelaku, pemerintah, dan pemungut retribusi kelas swasta itu.
Bagi lelaki-lelaki hidung belang pemuja malam tentulah Sarkem menjanjikan kenikmatan tersendiri. Disana mereka dapat menjaring kupu-kupu malam mulai dari kelas ciblek (cilik-cilik betah melek) hingga kelas wanita paruh baya, dari kelas gopek hingga yang ratusan ribu. Disana mereka juga dapat bermain di bilik-bilik sempit ataupun menyewa losmen atau hotel kelas melati yang bertebaran di sekitarnya.
Bagi wisatawan mancanegara, kawasan ini mungkin merupakan tempat favorit selama berwisata ke Jogja. Citarasa eksotis wanita Asia dapat mereka kecap disini. Jadilah lokasi ini juga punya andil yang cukup banyak bagi dunia pariwisata. Maka tak mengherankan, semenjak dulu hingga sekarang Sarkem selalu bertahan sebagai kawasan malam yang melegenda, tak banyak yang mengusiknya bahkan pemerintah daerah sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar