Total Tayangan Halaman

Senin, 04 Oktober 2010

GERWANI:SEBUAH KEMUNGKINAN KEBENARAN....

"Tanggal 30 September 1965 malam, mereka menari-nari tanpa busana di daerah Lubang Buaya, kemudian menyiksa para Jenderal, menyayat kemaluan para perwira itu dan memasukkan ke dalam mulut mereka". Itulah lukisan yang diberikan dalam buku-buku sejarah di Indonesia dan juga ada di dinding-dinding yang dingin di berbagai monumen historis.

Setelah Orba Baru berakhir, sejarah kembali diluruskan. Ternyata bahwa foto tentang wanita tanpa busana yang dijadikan bukti adalah hasil pemaksaan terhadap perempuan yang ikut latihan sebagai sukarelawati Dwikora (ganyang Malaysia) di Lubang Buaya. Mereka ditangkap, dipukuli, diinterogasi lalu dipaksa membuka pakaian dan menari-nari telanjang di depan tentara, sementara yang lain mengambil foto. Lalu foto-foto itu disiarkan. Bukan hanya itu. Pelacur Emmy yang berasal dari Senen ditangkap dan disuruh mengaku sebagai Ketua Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) Cabang Jakarta yang ikut dalam penyiksaan kelamin di Lubang Buaya. Ternyata seperti ditulis Ben Anderson dalam majalah Indonesia terbitan Cornell, berdasarkan visum et repertum dokter tidak ada perusakan kemaluan itu. Bahkan sebetulnya jauh lebih awal, Presiden Sukarno dalam pidatonya menyambut Hari Ibu di Istana Negara, Jakarta, 22 Desember 1965 mengatakan bahwa tidak benar 100 silet dibagi-bagikan di Lubang Buaya untuk menyilet kemaluan para Jenderal. Sayang sekali pidato Sukarno yang waktu itu masih menjadi Presiden RI yang sah tidak bisa dikutip dan disiarkan oleh media massa. 

Pers militer (Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha) ketika itu --sebagaimana diungkapkan oleh Stanley dalam seminar MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) di Serpong, September 1999, berperan penting dalam menyebarkan informasi yang menyesatkan itu. 

Wanita Indonesia yang ada dalam buku sejarah dan dinding monumen historis tampaknya hanya fiksi belaka, khayalan dari pihak keamanan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Gambaran tentang kebejatan moral wanita tersebut membangkitkan kemarahan rakyat yang akhirnya menjadi salah satu pendorong mereka melakukan pembantaian, pembunuhan massal yang terbesar dalam sejarah Indonesia yang memakan korban paling sedikit setengah juta jiwa. 

Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) didirikan pada 1954, sedang cikal bakalnya sudah berdiri pada 1950. Organisasi ini sangat aktif sampai tragedi 1965, terutama di kalangan rakyat kecil dari perkotaan sampai pedesaan. Para pemimpin Gerwani terdiri dari kaum intelektual cerdik pandai maupun kaum aktivis buruh dan tani. Mereka telah menghimpun kaum perempuan untuk berjuang bersama kaum laki-laki merebut hak-hak sosial politiknya.
Di bidang pendidikan mereka telah mendirikan sekolah Taman Kanak-kanak, utamanya untuk kalangan tak berpunya dengan bayaran kecil maupun gratis di seluruh pelosok negeri. Gerakan ini juga giat mendirikan tempat penitipan anak-anak bagi ibu pekerja dengan bayaran ringan maupun gratis. Gerwani merupakan organisasi kaum perempuan paling luas menjangkau seluruh pelosok Jawa khususnya. Mereka memberikan pendidikan kesadaran akan hak-hak perempuan termasuk hak-hak politik dan kesadaran politik. Mereka aktif juga dalam kesenian, kursus masak-memasak, pemeliharaan bayi dan anak, kesehatan perempuan dan anak-anak. Pendeknya organisasi ini telah melakukan pemberdayaan perempuan di seluruh kalangan, utamanya kaum buruh dan tani serta kaum pinggiran, sesuai dengan cita-cita Ibu Kartini. Gerwani ini pula yang menjadi primadona sasaran fitnah keji rezim militer Orba dengan segala macam dongeng horornya.

Toh,apapun upaya pembongkaran “fakta” yang dilakukan, sejarah tidak akan berubah. hanya saja, kesadaran untuk memandang lebih bijak pada apa yang terjadi pada waktu itu dan waktu sekarang perlu untuk ditumbuhkan dengan menampilkan sisi lain dari apa yang telah kita pahami sebagai kebenaran.


Kami bukan lagi bunga pajangan
yang lalu dalam jambangan
Cantik dalam menurut 
indah dalam menyerah
molek tidak menentang
ke neraka mesti mengikut
ke sorga hanya menumpang
Kami bukan juga bunga tercampak
dalam hidup terinjak-injak
penjual keringat murah
buruh separo harga
tiada perlindungan
tiada persamaan,
sarat dimuati beban
Kami telah berseru dari balik dinding pingitan
dari dendam pemaduan
dari perdagangan di lorong malam
dari kesumat kawin paksaan :
« Kami manusia ».


                                                -SUGIARTI SISWADI,SEORANG PENYAIR LEKRA.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar