Total Tayangan Halaman

Minggu, 03 Oktober 2010

REOG PONOROGO:SIMBOL PERLAWANAN TERHADAP KEKUASAAN...

 Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok Warok dan Gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat Reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu bukti budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat
Asal-usul Reog Ponorogo, menurut sumber tradisi, timbul pada masa pemerintah Bhre Kertabumi di Majapahit. Pada pemerintahan raja tersebut konon salah seorang pembantu dekatnya yang bernama Ki Ageng Surya Alam menyingkir dari sisi sang Raja. Bahkan Ki Ageng Surya menyingkir dari Ibukota Majapahit. Hal ini dilakukan oleh Ki Ageng Surya karena melihat kerajaan Majapahit sudah menyimpang dari kebiasaan sehingga ia memperkirakan akan dapat terjadi keruntuhan. Ki Ageng Surya Alam menganggap permaisuri raja terlalu banyak mempengaruhi prihal negara sehingga dirinya merasa tidak cocok lagi dan kemudian menyingkir ke sebuah desa yang bernama desa Kutu di Daerah Wengker (Ponorogo sekarang).
Di tempat itu pula Ki Ageng Surya Alam menjadi terkenal dengan nama populer Ki Ageng Kutu.
Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Di desa Kutu itu Ki Ageng Surya Alam mendirikan sebuah perguruan yang mengajarkan ilmu “kanuragan” (ilmu kekebalan/kesaktian) di samping ilmu kebatinan dan keprajuritan
Dari asal usul mendirikan perguruan dapat diterka bahwa Ki Ageng Kutu melakukan oposisi terhadap kekuasaan Raja. Hal tersebut ditunjukkan pula oleh Ki Ageng Kutu, yang juga seorang seniman, melalui karya seni ciptaannya. Isi dan cara pengungkapan merupakan gambaran karikatural situasi negara Majapahit pada waktu itu. Kesenian inilah yang kemudian dikenal dengan nama Reog.
Reog asli yang diciptakan Ki Ageng Kutu ini sangat sederhana. Satu unit reog hasil ciptaan Ki Ageng Kutu terdiri dari para pelaku: Singabarong dengan bulu meraknya, bujangganong, dua jathilan dengan penari dua orang laki-laki yang didandani perempuan. Alat musik (tetabuhannya) terdiri dari satu kendang, dua angklung, satu kenong, satu gong, satu selompret. Sedangkan pengiring terdiri dari beberapa orang yang tidak ditentukan jumlahnya, tugasnya serabutan membantu dimana diperlukan dan terutama memeriahkan suasana dengan senggakan-senggakan dan sorak-sorai yang riuh gemuruh.
Singabarong dimaksudkan sebagai pengejawantahan Raja yang sedang berkuasa, burung merak di kepala melambangkan permaisuri raja yang sedang menduduki kepala raja. Bujangganong atau ganong diwujudkan dalam bentuk topeng merah dengan mata melotot dan kumis panjang, hidung panjang yang melambangkan si pencipta kesenian tersebut, yang mampu penasehat raja, ia akan mengundurkan diri jika sang raja marah. 
Sedang sepasang penari jathilan (jaran kepang) yang dimainkan oleh laki-laki dengan dandanan perempuan, dimaksudkan sebagai gambaran prajurit-prajurit kerajaan yang telah kehilangan kejantanannya. Dalam tarian digambarkan pula penari jathilan tidak lagi disiplin terhadap sang Raja (Singabarong).
Bunyi tetabuhan yang riuh, dibarengi dengan sorak-sorai dan senggakan-senggakan menggambarkan usaha Bujangganong menarik perhatian rakyat agar menyaksikan tingkah laku raja.
Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo.
Setelah perubahan yang dilakukan oleh pengikutnya, Reog Ponorogo tidak lagi bersifat satirik belaka, tetapi telah bersifat legendarik yaitu menceriterakan kisah-kisah yang berhubungan dengan cerita Panji. Jenisnya pun menjadi beraneka ragam, antara lain versi Kelana-Sanggalangit (yang menceriterakan peperangan antara kerajaan Daha dengan kerajaan Bantarangin Ponorogo), versi widjaya-Kilisuci yang mengisahkan peperangan antara kerajaan Kahuripan dengan kerajaan Wengker, versi Asmarabangun-Rahwanaraja dan sebagainya. Dalam hal ini mulai ditambahkan berbagai tokoh yang disesuaikan dengan ceritera yang dikehendaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar