Total Tayangan Halaman

Selasa, 05 Oktober 2010

Plesetan:Kritikan Dadi Gojlokan.

Plesetan bukanlah sekadar humor atau lawakan. Ia adalah sisi lain dari politik negara terhadap bahasa nasional yang telah begitu lama menjelajah dalam kehidupan sehari-hari warga biasa. Dalam plesetan, kita akan menemukan cara pandang rakyat biasa terhadap persoalan sosial politik di sekitarnya, yang mereka ungkapkan dalam bentuk permainan bahasa. 
Segala hal yang berbau plesetan pernah sangat populer pada pertengahan tahun 1990-an, tahun-tahun ketika isu politik—khususnya isu tentang suksesi—mulai memanas, tahun-tahun menjelang jatuhnya sebuah rezim, juga di wilayah bahasa. Beberapa tayangan humor dan lawak yang ditayangkan di televisi tak lagi mengandalkan slapstick, melainkan mulai menggunakan gaya plesetan. Pada saat itu, tentu saja yang banyak menjadi sasaran plesetan adalah isu-isu politik, meski ini dilakukan dengan begitu kabur dan diam-diam. Jadinya, dalam plesetan ini kita dapat menemui ungkapan ketidakpuasan dan frustasi masyarakat terhadap kekuasaan yang sifatnya sangat menonjol.
 Plesetan menjadi semacam peradaban yang berkembang luas dalam masyarakat Jogja.Hubungan antara plesetan sebagai subkultur dan Jawa sebagai kultur,dapat dianalogikan sebagai hubungan antara hubungan sosial masyarakat dan subkulturnya yang beraneka ragam,Karena hubungannya yang demikian, maka untuk memahami hakikat  plesetan Jogja, tidaklah mungkin melepaskannya dari sosiologisme humor masyarakat Jawa.
Manusia Jawa memiliki mekanisme unik dalam merespons ketidakadilan sistem sosial dan ekonomi yang silih berganti diproduksi berbagai penguasa yang ada.Semuanya itu kemudian menjadi bentuk oposisi simbolik yang bersifat kultural dalam masyarakat Jawa. Humor bisa jadi adalah manifestasi dari kenyataan pahit atas ketidakadilan yang dalam banyak kasus justru bisa sangat kronis keadaannya. Bahkan plesetan secara halus merupakan bentuk perlawanan secara simbolik.
Kemahiran orang Jogja bermain dalam plesetan antara lain disebabkan karena budaya mereka yang senang berdebat,senang tampil unik(out of the box),dan kesenangan suatu komunitas yang senang mengobrol dan humor.
Selain itu ada karakter2 khas yang yang selama ini merupakan karakter orang Jawa,orang Jawa adalah orang yang tidak suka konfrontatif,tidak suka berterus terang dan mengutamakan harmoni.Jika tidak suka akan sesuatu,orang Jawa cenderung menyampaikannya dengan cara halus,menghindari konflik dan mengutamakan harmoni.Karena itu biasanya kritik disampaikan dengan "cara yang halus",dan humor adalah salah satu alat yang efektif.
Plesetan Jogja yang kritis juga disebabkan hadirnya beragam mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari luar negeri. Para mahasiswa menjadi genesis sendiri dalam gerakan sosial di Jogja. Mereka bukan warga Jogja, tetapi secara substansial, mereka selalu memperjuangkan hak-hak masyarakatJogja. Mereka telah menjadi metamorfosis yang telah menyatu dalam denyut nadi Jogja. Mereka menuangkan plesetan  melalui media graffiti di tembok jembatan hingga kamar kecil, kaos oblong politik karikatur, dan lainya. Simbol perlawanan lewat plesetan yang disuarakan mahasiswa bukan sekadar untuk mengkritik kebijakan lokal Jogja, bahkan sampai tingkat nasional sekalipun tak luput dari kritik mereka.
 Bahkan, mahasiswa luar ini memerlukan kemampuan untuk bisa bermain plesetan agar dapat diterima di kalangan mahasiswa “tuan rumah”. Tanpa mengetahui arti kata-kata yang terlontar selama permainan plesetan berlangsung, seseorang tidak akan dapat masuk ke dalam suasana akrab yang tercipta,kemahiran dalam plesetan kemudian menjadi salah satu modal yang penting bagi masyarakat Jawa dan para pendatang untuk tetap menjaga kedekatan dan keakraban satu sama lain.
Plesetan dan humor lainnya ternyata bukan sekedar ngguyu (tawa), melainkan sebuah simbol melawan atas segala sesuatu di luar kita,yang kadang-kadang tidak dapat kita jawab,apapun bentuknya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar